Sunday, August 29, 2010

Apakah demOkrasi haram???

Pertanyaan Apaka Demokrasi haram?
Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi?

Jawaban Assalamu alaikum wr.wb.
Saudara Iwan yang dirahmati Allah. Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya.

Prinsip Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.

Pandangan Ulama tentang Demokrasi
Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Mohammad Iqbal
Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.

Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya:
- Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
- Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
- Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
- Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam.
Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
- menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
- Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
- Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi.
Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Wassalamu alaikum wr.wb



(Klik untuk baca selanjutnya)

Fatwa-fatwa berkaitan demOkrasi

Bismillah walhamdulillah, fatwa ini adalah seputar memasuki parlimen dan yang berkaitan dengannya

Tidak ada yang memungkiri, bahwa Barat menginginkan segala corak kehidupan di seluruh dunia ini mengikuti kemauan dan kepentingan Barat, sementara itu salah satu peradaban yang bertentangan dengan Barat adalah Islam, bila Barat ingin pornografi dilegalkan, Islam menyatakan haram, bila Barat bilang hukum qishas tidak boleh Islam menyatakan harus karena qishas terbukti memberikan keadilan bagi pihak korban dan mencegah kejahatan selanjutnya.

Adanya pertentangan tersebut, mengakibatkan Barat yang merasa terkuat di dunia, memandang perlu untuk melumpuhkan kekuatan Islam sehingga Barat leluasa untuk menguasai segala aspek dan corak kehidupan di dunia ini. Berbagai jalan ditempuh, salah satunya adalah dengan mengisi parlemen-parlemen di negara-negara Islam dengan kader-kader yang secara sadar atau tidak telah membawa misi Barat. Parlemen merupakan tempat yang amat strategis untuk diduduki, karena segala kemauan dapat diputuskan dan dilegalkan di parlemen.

Itu adalah kenyataan yang ada sekarang ini, sehingga sebagian umat Islam memandang perlu bahkan wajib menghadang mereka menguasai parlemen, karena bila tidak maka kemudharatan besar akan dialami oleh umat Islam. Syekh Muhammad Ibn Shaleih Al ‘Utsaimin –rahimahullah- berpendapat/berfatwa tentang perlunya umat Islam masuk ke parlemen :

“Namun jika pemerintahan itu dibiarkan lalu kesempatan itu diberikan kepada orang-orang yang jauh dari cita-cita penerapan syari’at maka ini adalah sebuah kelalaian yang besar yang tidak seharusnya seseorang melakukannya.”



-Al Furqan edisi 42 atau Al-Islah no 101.

Beliau menyebut sebagai kelalaian yang besar bila umat Islam meninggalkan parlemen, sementara itu Syaikh Nashiruddin Albani berpendapat lebih tajam :

“dengan tidak ada keraguan bahwasanya WAJIB atas ummat Islam adanya wakil-wakil dan pemilih-pemilih yang memihak pada wakil-wakil yang berada di atas kebenaran (haq).


AL-ISLAH no 101

Begitu juga Syaikh Bin Baz baik secara pribadi maupun melalui Lajnah Daimah yang beliau pimpin berfatwa boleh bahkan menganjurkan umat Islam masuk parlemen, di antara fatwa beliau secara pribadi adalah :

Rasulullah SAW bersabda segala amal perbuatan bergantung kepda niat dan setiap orang mendapat apa yang diniatkan.Oleh itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlimen bile tujuannya membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Kerana hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada ALLAH SWT.


Dan fatwa resmi yang melalui Lajnah Daimah:

….maka ia boleh berbaur dengan partai-partai tersebut atau bergabung dengan partai yang paling dekat dengan al haq.

Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah vol.12, hal.384 no 6290

Allah SWT telah memerintahkan untuk menghadang mereka :

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. 16:125

Dan Allah memberi julukan yang buruk kepada ulama yang tidak mau menghadang mereka, seburuk ulama-ulama Yahudi dahulu yang membiarkan manusia melakukan kemaksiatan :

Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. QS. 5:62-63

Namun sangat disayangkan, ada saja umat Islam yang ghirahnya kepada agama sangat tinggi namun telah begitu saja mengharamkan masuk parlemen yang kalau dikaji hujah-hujahnya nampak tanpa tinjauan nash dan realita yang akurat dan teliti, walaupun banyak ulama yang notabene bukan ulama-ulama harokah yang memfatwakan boleh bahkan mewajibkan masuk parlemen yang tentunya fatwa tersebut dapat dinilai obyektif daripada pembelaan, tetap saja mereka bersikukuh mengharamkan parlemen. Tidak cukup mengharamkan parlemen, jalan untuk menuju ke sanapun yaitu pemilu dan demokrasi juga diharamkan.

Mari kita lihat Fatwa Syaikh Albani yang membolehkan pemilu :

Boleh bagi wanita keluar rumah (untuk ikut Pemilu) dengan syarat-syarat yang telah dikenal untuk wanita, yaitu, memakai Jilbab syar’i (pakaian muslimat), dan tidak bercampur-baur (ikhtilat) dengan laki-laki.; syarat inilah yang pertama. Madarikun nazhar fi siyasah.

Begitu juga Syaikh bin Baz memfatwakan :

……tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

Majalah Liwa’ul Islam–Ed.3 zulqa’dah 1409 H

Fatwa-fatwa selengkapnya dan dari syaikh-syaikh lainnya akan dimuat dalam AL-ISLAH no 104 mendatang yang semoga bermanfaat. Walaupun dengan fatwa-fatwa tersebut sudah sangat cukup untuk menjelaskan mengapa harus ada yang masuk parlemen, namun ada baiknya kita mengkritisi hujah-hujah yang mereka gunakan untuk mengharamkan demokrasi, walaupun tidak seluruhnya kita kritisi karena ruang halaman tetapi semoga dapat mewakili.

PRODUK KAFIR

Salah satu yang masuk katagori sering dilontarkan untuk mengharamkan demokrasi adalah demokrasi bukan berasal dari Islam. Pernyataan ini tidak salah namun memiliki maksud yang tidak benar, maksud mereka menyatakan demikian adalah untuk menyatakan bahwa segala sesuatu yang bukan dari Islam adalah Thaghut, pendapat ini telah kita kritisi dengan kaidah usul “Hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”

Perlu diketahui bahwa cikal bakal demokrasi bermula dari hasil pemikiran Plato dalam bukunya Republik pada tahun 427 – 347 SM atau kira-kira 900 tahun sebelum nabi Muhammad SAW lahir, adalah salah bila menilai demokrasi diciptakan untuk menghancurkan Islam, tetapi kalau Barat saat ini memanfaatkan demokrasi untuk menghancurkan Islam itu adalah benar, karena demokrasi sifatnya terbuka dan elastis seperti karet, terbuka artinya siapa saja bisa masuk, kafir, Kristen, komunis dan juga Islam, elastis artinya siapa saja bisa memberi bentuk dan definisi sesuai kemauannya, tidak aneh bila setiap pakar politik mempunyai definisi akademis tentang demokrasi yang berbeda-beda dan tidak aneh pula setiap politikus dan penguasa mempunyai bentuk tersendiri dalam melaksanakan demokrasi.

Presiden Amerika misalnya, menyebut negaranya yang paling demokratis, tetapi banyak rakyat Amerika dan masyarakat dunia menilai Amerika sebagai negara yang paling tidak demokratis karena telah mengabaikan aspirasi rakyatnya dan suara masyarakat dunia yang tidak menginginkan invansi ke Irak. Pemerintahan Soekarno, demokrasinya dinamai demokrasi terpimpin, padahal lawan-lawan politik-nya menilai sebagai tiran. Begitu juga pemerintahan orde baru, demokrasinya dinamai demokrasi Pancasila padahal semua lawan politiknya menilai rezim yang paling otoriter, semua definisi dan bentuk demokrasi tergantung siapa yang menjalankannya, bila sekarang umat Islam menginginkan demokrasi sesuai kemauannya, maka itu sah-sah saja, bila umat Islam secara demokratis mendapatkan kemeangan mayoritas maka sah-sah saja bila ingin menempatkan Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi hukum tertinggi sebagai suara rakyat dan itulah demokrasi.

Apakah hal semacam itu diharamkan dalam agama ? Berhati-hatilah terhadap statement “demokrasi bukan dari Islam” kemudian mengharamkannya, kita tidak apriori, kalau memang sesuatu itu tidak bertentangan dengan Islam tentu tidak boleh dinyatakan haram dan kalau memang bertentangan maka harus dinyatakan tidak boleh, jangan asal yang bukan dari Islam lantas dinyatakan haram, apakah bentuk kerajaan seperti Saudi Arabia berasal dari Islam ? lalu mengapa tidak diharamkan ?

KEBANYAKAN ORANG

Tidak kuat hujah mengharamkan demokrasi dengan menyatakan “demokrasi bukan produk Islam” orang-orang yang ingin mengharamkan demokrasi terus kreatif dan kratif mencari hujah yang dapat mengharamkan demokrasi meskipun akhirnya terkesan asal tembak dan asal keluarkan hujah, seperti hujah berikut yang bagai jauh panggang dari api, saya katakan demikian karena antara nash yang diberikan dengan obyek yang didalili tidak mengena sama sekali, yang penting ada api dan ada panggangan :

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. 6:116

Ayat di atas memang tampak berkorelasi dengan dhahir demokrasi yang menentukan kemenangan atas suara terbanyak, sehingga nampak cocok untuk mengharamkan orang yang berjuang melalui pemilu dan parlemen yang kemenangannya ditentukan atas suara terbanyak, argumen mereka dengan ayat tersebut :

“bukankah Allah melarang untuk mengikuti orang banyak, lalu kenapa ikut demokrasi yang memenangkan suara terbanyak, bukankah hal itu berarti mengikuti suara terbanyak atau mengikuti kebanyakan orang ?”

Hanya karena dalam nash ada frase “kebanyakan orang-orang” dan demokrasi menentukan “kemenangan atas suara terbanyak” lalu dinyatakan demokrasi haram berdasarkan nash tersebut, tapi baiklah, benarkah larangan mengikuti kebanyakan orang dalam ayat tersebut berkorelasi dengan orang-orang yang berjuang masuk parlemen yang harus melalui pemilu ?

Ayat tersebut adalah larangan mengikuti kebanyakan orang yang hidup dalam kejahiliyahan, baik dahulu atau sekarang, misalnya, ketika ayat ini turun, wacana yang lagi eksis saat itu adalah tentang haram tidaknya binatang sembelihan, Allah telah menghalalkan binatang yang disembelih atas nama-NYA, sementara orang-orang kafir mengharamkannya, begitu juga sebaliknya Allah menghalalkan tetapi orang-orang kafir mengharamkan, Terhadap hal ini Allah SWT melarang nabi SAW mengikuti orang-orang jahiliyah yang pada waktu itu mayoritas, begitu juga saat ini, jangan mengharamkan sesuatu -misalnya : poligami- hanya karena telah banyak orang yang mengharamkannya, itulah maksud ayat tersebut.

Memahami ayat tersebut dengan hanya memfokuskan “larangan mengikuti banyak orang” tanpa mengetahui mengapa Allah melarangnya juga..

dapat menimbulkan kesalahan besar, bukankah hampir seluruh orang-orang kafir Mekah akhirnya berbondong-bondong masuk Islam dan hanya sedikit saja yang tetap kafir, apakah lantas Islam sesat karena kebanyakan orang ikut Islam dan apakah sisa orang-orang musyrik yang tidak masuk Islam justru berada pada jalan yang lurus karena menjadi kelompok yang sedikit orang, dan apakah lantas sesat mayoritas umat yang memilih Utsman untuk menjadi Amirul Mukminin ? Fokus larangan ayat tersebut adalah mengikuti pendapat yang mengharamkan apa yang Allah halalkan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dan jangan sampai terkecoh hanya karena pendapat itu mayoritas.

Sementara itu, orang-orang yang berjuang di parlemen dan melalui pemilu, adalah justru berusaha menjidal atau menghadang orang-orang kafir yang ingin melegalkan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, adalah tidak tepat orang yang menjidal dan menghadang dikatakan mengikuti orang-orang yang akan menentang hukum Allah, maka penerapan ayat tersebut untuk mengharamkan perjuangan mereka di parlemen melalui pemilu “bagai jauh panggang dari api” antara dalil sama obyek berbeda topik.

Orang-orang yang berjuang menghadang orang-orang kafir-sekular yang akan membuat hukum yang akan bertentangan dengan hukum Allah lalu kalah tidak bisa dikatakan mereka telah ikut menyetujui hukum tersebut, bagaimana bisa orang yang menentang dikatakan ikut menyetujui keluarnya RUU tersebut, sampai sekarang tidak ada yang mengatakan PDIP dan PDS menyetujui keputusan RUU SISDIKNAS, semua orang tahu mereka adalah penentang utama dan yang akan tetap berjuang membatalkannya. Justru apakah yang diam tidak berjuang menentang mereka yang patut dikatakan telah menyetujui, karena ada pepatah diam berarti setuju ?

Dalam sistem demokrasi memang benar suara mayoritas sebagai penentu menang atau kalah, tetapi tidak benar bila dikatakan untuk menentukan yang haq dan yang bathil, sama dalam perang, keberhasilan dalam menghancurkan musuh adalah sebagai penentu menang atau kalah bukan penentu haq atau bathil. Rasulullah pernah kalah dalam perang, tetapi bukan berarti beliau dalam jalan yang bathil, orang kafir pernah menang dalam perang, bukan berarti orang kafir berada pada jalan yang haq, apakah ada yang menilai perang sebagai sistem yang haram karena rasulullah pernah kalah ?.

Begitu juga berjuang dalam demokrasi, kekalahan umat Islam tidaklah berarti mengakui yang mayoritas sebagai yang benar tetapi harus secara gentle mengakui yang mayoritas telah menang, apakah hal tersebut dapat dikatakan telah mengikuti kebanyakan orang ?

Manakah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, apakah orang-orang yang menghadang orang-orang kafir-sekular di parlemen yang akan membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah ataukah yang diam saja membiarkannya ? Jujur saja, sampai saat ini tidak ada satupun langkah nyata untuk menghadang mereka ? apa iya rasulullah mengajarkan demikian, apa iya para salafus shalih seperti itu ?.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

QS. 103:3

Demikianlah kajian ini, semoga dengan mengkritisi dua hujah yang dilontarkan untuk mengharamkan demokrasi tersebut dapat mengetahui kesalahan khas yang selalu ada yaitu bagai jauh panggang dari api.


FATWA-FATWA SEPUTAR PARLEMEN DAN PEMILU

…….maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui. QS. 21:7

Telah kita kaji bersama tentang keharusan adanya wakil-wakil umat Islam di parlemen yang berjuang demi Islam dan keharusan adanya pemilih-pemilih yang memilih mereka guna memberikan kekuatan perjuangan di parlemen, juga telah kita sanggah sebagian hujah-hujah/argumetasi yang digunakan untuk menghambat/melemahkan perjuangan umat Islam di parlemen.

Sekarang mari kita lihat fatwa-fatwa seputar yang membolehkan dan mengharuskan berjuang di parlemen melalui pemilu, fatwa-fatwa yang akan di tampilkan di sini hanya fatwa-fatwa dari syaikh-syaikh yang diakui keilmuannya secara internasional dan dari syaikh-syaikh yang bukan syaikh harokah, hal tersebut guna mendapatkan keakuratan dan keobyektifan fatwa. Fatwa-fatwa terpaksa dicetak dengan ukuran huruf yang kecil agar dapat menampilkan fatwa sebanyak mungkin, itupun tidak dapat menampung beberapa fatwa lainnya, untuk fatwa dari Syaikh Albani dapat dilihat di buletin AL-ISLAH nomor 101 dengan judul :

“ATAS NAMA SYAIKH ALBANI”

1. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah ibn Baz

Fatwa Pertama

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. maka beliau menjawab :

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya, setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT. Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para membelanya, wallahul muwafiq.

Liwa’ul Islam – Edisi 3 zulqa’dah 1409 H

• Fatwa Kedua

Majalah Al-Ishlah Emirat melakukan wawancara dengan Syaikh Bin Baz dan menuliskan laporannya pada edisi 241 tanggal 13 Juni 1993, berikut ini petikannya :

Al-Ishlah : Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang politik ? Dan bagaimana aturannya ?

Syaikh Bin Baz : Dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik. Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT :

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. QS. An-Nahl : 125

Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. QS. Ali Imran : 159

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubah istri dan anak-anak-nya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

• Fatwa Ketiga

Al-Ishlah : Para mahasiswa banyak bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen dan ikut pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya ?.

Syaikh Bin Baz : Masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agama Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan.

Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya. Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

(Al Ishlah edisi 242-27 Dzulhijjah 1413 H. Terjemahan ini dinukil dari buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).

• Fatwa Keempat

Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H.

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Saya mohon fatwa atas masalah berikut :

Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau administratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan ?

Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya ? Namun dia tetap mantap dalam aqidahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.

Syaikh Bin Baz : Wa ‘alaikumussalam wr wb.
Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman : “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan”.

Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan”.

Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. wb.


2. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

• Fatwa Pertama

Al-Furqan :. Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih anda bagi yang menolak dan yang mendukungnya ?

Syaikh Al-Utsaimin : Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan ZulHijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin :

• Fatwa Kedua

Al-Furqan : Bagaimana hukum masuk parlemen ?

Syaikh Al-’Utsaimin : Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah.

Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini (DPR), pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya, namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.

(Majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19 Zulhijah 1411 )
• Fatwa Ketiga

Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-’Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Al-Furqan : Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukum masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar anda ?

Syaikh Al-’Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

(Fatwa ini dimuat dalam majalah Al Furqan edisi 42-Rabi’ Ats Tsani 1414 H dan Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Sudan).

3. Syaikh Shalih al-Fauzan Hafizhahullah

Soal: Apa hukum menjadi anggota parlemen ?

Jawaban: Apa yang akan terealisasi dengan masuknya ia menjadi anggota parlemen ? Kemashlahatan bagi kaum muslimin ? Bila hal itu berdampak bagi kemashlahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya mengurangi kemudharatan bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian kemashlahatan jika tidak memungkinkan meraih semuanya, walaupun hanya sebagian saja.

Soal: Tapi hal itu terkadang mengharuskan seseorang mengorbankan beberapa hal yang ia yakini ?

Jawaban: Mengorbankan maksudnya melakukan tindakan kufur kepada Allah atau apa ?

Yang hadir menjawab : Mengakuinya.

Jawaban: Tidak, pengakuan ini tidak boleh dilakukan. Yakni ia meninggalkan agamanya dengan alasan untuk berda’wah ke jalan Allah, ini tidak benar. Bila mereka tidak mempersyaratkan ia harus mengakui hal-hal (yang kufur) itu dan ia tetap berada di atas keislamannya, aqidah dan diennya, lalu dengan masuknya ia (dalam parlemen) terdapat kemashlahatan bagi kaum muslimin, dan bila mereka tidak mau menerimanya, ia pun meninggalkan mereka apa yang akan ia lakukan ? Memaksa mereka ? ……

Tidak mungkin memaksa mereka. Yusuf as. masuk ke dalam jajaran kementrian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi ? Anda sekalian tahu atau tidak apa yang terjadi pada Nabi Yusuf as.? Apa yang dilakukan Yusuf ketika beliau masuk ? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkat-lah aku sebagai bendaharawan negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Lalu kemudian beliaupun masuk ke pemerintahan hingga akhirnya kekuasaanpun berada di tangan Yusuf as. Beliau kemudian menjadi raja Mesir. Salah seorang nabi Allah menjadi raja Mesir.

Maka bila masuknya ia akan mendatangkan hasil yang baik maka ia hendaknya masuk. Namun jika hanya sekedar untuk menerima dan tunduk kepada apa yang mereka inginkan, dan tidak ada kemashlahatan bagi kaum muslimin dengan masuknya ia maka ia tidak dibolehkan untuk menjadi anggota parlemen. Para ulama mengatakan “Mendatangkan mashlahat atau menyempurnakannya”, artinya bila mashlahat itu tidak dapat diraih seluruhnya, maka tidak apa-apa walaupun hanya sebagian yang dapat dicapai, dengan syarat tidak menyebabkan terjadinya kemafsadatan yang lebih besar.

Para ulama mengatakan bahwa Islam datang untuk meraih kemashlahatan dan menyempurnakannya, serta menolak kemafsadatan dan menguranginya. Artinya bila kemafsadatan itu tidak dapat ditolak seluruhnya, maka setidaknya ia berkurang dan lebih ringan. Dengan kata lain menempuh kemudharatan yang paling ringan di antara dua kemudharatan demi mencegah terjadinya kemudharatan yang lebih besar.

Ini semua bergantung pada maksud dan niatnya serta hasil yang akan dicapai. Dan bila masuknya ia sebagai anggota parlemen hanya karena ketamakan pada kekuasaan dan harta, lalu kemudian mendiamkan dan menyetujui kebatilan yang mereka kerjakan maka ini tidak diperbolehkan. Dan bila masuknya mereka demi kemashlahatan kaum muslmin dan da’wah ke jalan Allah sehingga semuanya dapat bepangkal pada kebaikan kaum muslimin, maka ini adalah perkara yang harus dilakukan, tentu saja bila tidak mengakibatkan ia harus mengakui kekufuran. Sebab bila demikian maka ini tidak dibolehkan. Tidak dibenarkan mengakui kekufuran walaupun dengan tujuan yang mulia. Seseorang tidak boleh menjadi kafir lalu mengatakan bahwa tujuan saya adalah mulia, saya ingin berda’wah ke jalan Allah ; ini tidak diperbolehkan.

(Fatwa ini berasal dari sebuah kaset yang direkam dari Syekh, lalu dimuat dalam buku Ash Shulhu Khair terbitan Jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah di Sudan).

Fatwa Lajnah Da’imah Tentang Sikap Seorang Muslim Terhadap Partai-partai Politik (Fatwa no. 6290)

Soal : Sebagian orang mengaku dirinya muslim namun tenggelam dalam partai-partai politik, sementara di antara partai-partai itu ada yang mengikuti Rusia dan ada yang mengikuti Amerika. Dan partai-partai ini juga terbagi-bagi menjadi begitu banyak, seperti Partai Kemajuan dan Sosialis, Partai Kemerdekaan, Partai orang-orang Merdeka –Partai Al Ummah-, Partai Asy Syabibah Al Istiqlaliyyah dan Partai Demokrasi…serta partai-partai lainnya yang saling mendekati satu sama lain. Bagaimana sikap Islam terhadap partai-partai tersebut, serta terhadap seorang muslim yang tenggelam dalam partai-partai itu ? Apakah keislamannya masih sah ?

Jawaban : Barang siapa yang memiliki pemahaman yang dalam tentang Islam, iman yang kuat, keislaman yang terbentengi, pandangan yang jauh ke depan, kemampuan retorika yang baik serta mampu memberikan pengaruh terhadap kebijakan partai hingga ia dapat mengarahkannya ke arah yang Islami, maka ia boleh berbaur dengan partai-partai tersebut atau bergabung dengan partai yang paling dekat dengan al haq, semoga saja Allah memberikan manfa’at dan hidayah dengannya, sehingga ada yang mendapatkan hidayah untuk meninggalkan gelombang politik yang menyimpang menuju politik yang syar’i dan adil yang dapat menyatukan barisan ummat, menempuh jalan yang lurus dan benar. Akan tetapi jangan sampai ia justru mengikuti prinsip-prinsip mereka yang menyimpang.

Dan adapun orang yang tidak memiliki iman dan pertahanan seperti itu serta dikhwatirkan ia akan terpengaruh bukan memberi pengaruh, maka hendaknya ia meninggalkan partai-partai tersebut demi melindunginya dari fitnah dan menjaga agamanya agar tidak tertimpa seperti yang telah menimpa para aktifis partai itu dan mengalami penyimpangan dan kerusakan seperti mereka.

Wabillahittaufiq, Washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Ketua : ‘Abdul ‘Aziz ibn ‘Abdillah ibn Baz.
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota : ‘Abdullah ibn Ghudayyan
Anggota : ‘Abdullah ibn Qu’ud

Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah vol.12, hal.384



(Klik untuk baca selanjutnya)
Related Posts with Thumbnails

DOWNLOAD BAHAN ILMIAH

حيا بالعربية

محادثة
@ يـَــا عـَــائِــشـَــة ُ، هـَـٰــذِهِ صـَــدِيـْــقـَــتـِــى خـَــدِيـْــجـَــة

@ Hai Aisyah, ini temanku Khadijah.

& أ َهـْــلاً وَسـَــهـْــلاً، كـَــيـْــفَ حـَــالـُــكِ يـَــا خـَــدِيـْــجـَــة

& Semoga anda menjadi keluarga kami dengan segala kemudahan, bagaimana khabarmu hai Khadijah?

@ أ َنـَــا بـِــخـَــيـْــر ٍ اَلـْــحـَــمـْــدُ لـِــلـَّــه، وَمـَــا اسـْــمُــكِ؟

@ Saya baik alhamdulillah, siapakah nama awak?

& إ ِسـْــمـِــى مـَــرْيـَــمُ بـِــنـْــت ُ الـْــحـَــاج ِ حـَــسـَــنْ

& Nama saya Maryam binti Haji Hasan.

@ مـَــا شـَــاءَ الله إ ِسـْــمٌ جـَــمـِــيـْــلٌ، أ َيـْــن َ تـَــسـْــكـُــنـِــيـْــن َ يـَــا مـَــرْيـَــمُ؟

@ Masya Allah nama yang bagus, di manakah awak tinggal hai Maryam?

& أ َسـْــكـُــن ُ فـِى رَقـْــم ِ ٤٨ مـِــنْ شـَــار ِع ِ مـِــيـْــلاَوَاتـِــىْ

& Saya tinggal di nombor 48 Jalan Melawati.

@ إ ِذ َن ْ بـَــيـْــتـُــكِ قــَــر ِيـْــبٌ مـِــنْ هـُــنـَــا

@ Kalau demikian rumah awak dekat sahaja dari sini.

& أ َجـَــلْ، مـِــائَــتـَــان ِ وَخـَــمـْــسـُــوْن َ مـِــتـْــرًا تـَــقـْــر ِيـْــبـًــا

& Ya, lebih kurang 250 meter dari sini.

@ هـَــلْ تـَــسـْــمـَــحـِــيـْــن َ لـِــى بـِــز ِيـَــارَتـِــكِ يـَــا مـَــرْ يـَــمُ؟

@ Apakah awak membolehkan saya mengunjungi awak hai Maryam?

& بـِــكـُــلِّ السـُّــرُوْرِ

& Dengan segala senang hati.

MARI BELAJAR BAHASA ARAB =)

BERSAMA MYKRK

ARAB MADINAH

ARAB INDO