(Fiqh al-Awlawiyyat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
DI ANTARA amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa alasan:
Pertama: Karena sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan lahiriah itu, yaitu niat; sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” [32]
Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.” [33]
Dalam sebuah hadith qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,
“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya.” [34]
Kedua: Karena hati merupakan hakikat manusia, sekaligus menjadi poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” [35]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” [36]
Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.
Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak, dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (as-Syu’ara’: 87-89)
“Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihata (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.” (Qaf: 31-33)
Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.
Taqwa kepada Allah - yang merupakan wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat - pada hakikat dan intinya merupakan persoalan hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Taqwa itu ada di sini,” sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya agar dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia.
Sehubungan dengan hal ini, al-Qur’an memberi isyarat bahwa ketaqwaan itu dilakukan oleh hati manusia:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia, serta tingkatan amalan rabbaniyah yang menjadi perhatian para ahli suluk dan tasawuf, serta para penganjur pendidikan ruhaniah, merupakan perkara-perkara yang berkaitan dengan hati; seperti menjauhi dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan kepada Allah, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, mensyukuri nikmatNya, bersabar atas bencana, redha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya, mengawasi diri sendiri dan lain-lain. Perkara-perkara ini merupakan inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang tidak memiliki perhatian sama sekali terhadapnya maka dia akan merugi sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.
Siapa yang mensia-siakan umurnya, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa
Anas meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” [37]
“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada ibubapa dan anaknya, serta manusia seluruhnya.” [38]
Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?” Beliau balik bertanya: “Apakah yang telah engkau persiapkan?” Dia menjawab, “Aku tidak mempersiapkan banyak shalat dan puasa, serta shadaqah, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, “Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” [39]
Hadith ini dikuatkan oleh hadith Abu Musa:
Bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada seseorang yang mencintai kaum Muslimin, tetapi dia tidak termasuk mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai.” [40]
Hadith-hadith tersebut menunjukkan bahwa cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan shadaqah.
Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.
Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,
“Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka.
Aku berharap bahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka.
Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu.”
Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.
Dalam sebuah hadith disebutkan,
“Barangsiapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka dia termasuk orang yang sempurna imannya.” [41]
“Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala’ karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT.” [42]
Oleh sebab itu, kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para daie’ yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.
Saya sendiri memperhatikan - dengan amat menyayangkan - bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya - Saya tidak berkata mereka semuanya - mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua ibubapa, silaturrahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah SWT, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya; di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.
Saya tertarik dengan perkataan yang diucapkan oleh saudara kita, seorang daie’ Muslim, Dr. Hassan Hathout yang tinggal di Amerika, yang sangat tidak suka kepada sebagian saudara kita yang begitu ketat dan kaku dalam menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan daging halal yang telah disembelih menurut aturan syariat. Mereka begitu ketat meneliti daging-daging tersebut apakah ada kemungkinan bahwa daging tersebut tercampur dengan daging atau lemak babi, walaupun kemungkinan itu hanya benar 1% sahaja tetapi dalam masa yang sama masa yang sama dia tidak memperhatikan bahwa dia memakan bangkai saudaranya setiap hari beberapa kali (dengan fitnah dan mengumpat/ghibah), sehingga saudaranya dapat menjadi sasaran syubhat dan tuduhan, atau dia sendiri yang menciptakan tuduhan-tuduhan tersebut.
Allahu a’lam..
Catatan kaki:
32- Muttafaq ‘Alaih dari Umar (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1245), hadith pertama yang dimuat dalam Shahih al-Bukhari
33- Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (1856)
34- Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafaz hadith yang pertama, sedangkan lafaz yang lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah.
35- Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir, yang merupakan bagian daripada hadith, “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas” (Lihat al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1028)
36- Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)
37- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’wa al-Marjan, 26)
38- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 27)
39- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1693)
40- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al- Marjan, 1694)
41- Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu Umamah (4681), dan dalam al-Jami’ as-Shaghir riwayat ini dinisbatkan kepada Dhiya’ (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 5965)
42- Diriwayatkan oleh al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas’ud, Ahmad, dan Ibn Abi Syaibah dari Barra” dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 2539)
Diperoleh dari --->> Dakwah-Info
No comments:
Post a Comment